katakan rahasia padanya

31 03 2009

katakan rahasia padanya

karena sebentar lagi kau ingin menidurinya

dan kau tak ingin dia menyebut namaku

disela rintihnya bersamamu

tlah kau katakan padanya sebuah rahasia?

maka sekarang bersiaplah,

karena nyawa tak semurah lalap pete

atau semur jengkol

maka segeralah !





oret-oretan

26 12 2008

“Krosi” Eko Tunas di Rembang.

Dengan membungkuk, bergaya seperti gitaris profesional, dan melantunkan lagu dengan agak sumbang, lalu berubah karakter menjadi seorang perempuan.

“Penguasa-penguasa, inyong njaluk dwitek,inyong njaluk dwitek”sepenggal lirik lagu Iwan fals yang dibahasa tegal-kan. Salah satu penggalan monolog yang dipentaskan Eko tunas, seniman dari Semarang. Minggu (21/12)malam di Rembang, di aula rumah dinas wakil bupati, Gus Tutut. Monolog berbahasa tegalan ini berdurasi lebih kurang satu jam. Monolog dengan lakon krosi m

Dalam monolog “krosi” ini banyak isu-isu yang sedang hangat berkembang di mayarakat Rembang(khususnya), dikemas secara apik dengan menggunakan bahasa tegal-an. Monolog dengan lakon “krosi” ini sudah di pentaskan di beberapa tempat seperti di Jakarta, Yogyakarta, semarang, Madura, rencananya tahun depan monolog ini akan di pentaskan tasikmalaya bekerjasama dengan acep zamzam nor-sastrawan dari kota tersebut lalu Cirebon, dan beberapa kota di Jawa Barat. Pada setiap pentas selalu dibumbui dengan isu-isu yang lebih hangat, sehingga monolog dengan lakon “krosi” ini semakin kompleks dengan masalah-masalah yang ada dalam masyarakat, sosial politik yang sedang hangat di perbincangkan.

Menurut eko tunas, monolog ini diangkat dari eksplorasi tentang konsep sebuah “kursi”, dalam bahasa aslinya kurs yang berarti kayu, yaitu tempat duduk rakyat (orang-orang kecil), lalu ada istilah “tahta” yang mempunyai arti batu yaitu tempat duduk penguasa (orang-orang yang mempunyai kedudukan politik), sedangkan tempat duduk tuhan adalah “ars”.” Tetapi dalam Al-Qur’an ketika turun ayat, namanya ayat kursi, bukan ayat tahta atau ayat ars” tuturnya. Berawal dari konsep dasar inilah lalu dikembangkan menjadi sebuah monolog.

Mengusung tokoh turah. sebagai anak seorang dalang tua, Turah adalah seorang janda beranak sepuluh yang salah satu anaknya kini sudah mendapat kursi kedudukan di kota besar, tetapi sayangnya si anak menganggap kursi itu sebagai sebuah tahta. Keadaan itu membuat kecewa Turah, kemudian Ia mendatangi seorang tokoh pejabat (dikarakterkan sebagai Gus Tutut)lalu menasihati turah untuk mendudukkan kursi pada tempatnya. “Sudah saatnya kursi duduk” tuturnya dalam monolog.

Pada bagian akhir monolog ini adalah ketika turah berusaha memosisikan kursi untuk duduk. Kursi yang fungsi sesungguhnya adalah tempat untuk diduduki, kini harus dipaksa untuk menduduki. Kursi disini adalah representasi dari rakyat. Tentu tidak dengan mudah kursi dapat diduduk-kan. Tetapi setelah kursi itu dapat duduk terjadi suatu konflik lagi. “Apa akibatnya kalau institusi rakyat duduk di atas institusi penguasa? Yang terjadi adalah sebuah tiranisme yang diduduki fasisme.” Tutur Eko Tunas dalam monolognya.

Sebuah seni tak akan lepas dari isu-isu publik yang sedang hangat diperbincangkan, begitu dalam monolog ini isu-isu yang coba dihadirkan antara lain tentang pengekangan kebebasan berekspresi, lalu tentang berita yang sedang hangat seperti berita pernikahan syeh puji, serta kritikan-kritikan terhadap birokrasi pemerintahan. “Konsep krosi ini saya peroleh ketika saya sharing dengan teman saya. Seorang kiyai dan dosen di IAIN WALISONGO Semarang” tuturnya seusai pementasan monolog.

Komunikasi terjalin harmonis antara Eko Tunas dengan penonton. Kritik- kritik sosial dan politik dapat di kemas dalam humor-humor segar. Dalam monolog ini kaidah-kaidah bermain drama tidak begitu di indahkan. Mulai dari teknik muncul, tatarias dan blocking semua tidak menganut aturan dramaturgi. Di sini Eko Tunas lebih mengedepankan bahwa sesungguhnya setiap orang bisa bermain monolog. “Monolog saya ini sebenarnya tanpa latihan, latihan saya ya pas pentas keliling seperti ini, dan setiap pementasan selalu ada ide-ide yang bisa diangkat ke dalam monoog ini” tegasnya pada waktu diskusi bersama penonton seusai monolog.

Pementasan monolog “krosi” ini dihadiri oleh banyak kalangan masyarakat, mulai dari pegiat seni di kab. Rembang, LSM, orang-orang pesantren, dan mahasiswa. Tak lupa Gus Tutut, wakil bupati kabupaten Rembang juga hadir menyaksikan pementasan monolog tersebut. Tak hanya dari Rembang, tetapi Blora, Pati, Kudus, bahkan Semarang juga datang untuk mengapresiasi kegiatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya geliat kegiatan kesenian di Rembang cukup besar.






salam budaya!

8 12 2008

semoga apa yang tertpampang dalam blog ini dapat bermanfaat!paling tidak bisa menjadi sebuah wacana.